Rabu, 31 Oktober 2012

Waspada! Doktrin Wahabi Masuk Kurikulum Sekolah Indonesia



Sekolah merupakan faktor utama pembentuk kepribadian. Setiap materi pelajaran, nilai dan teladan yang didapat di sekolah akan diserap oleh siswa dan mempengaruhi karakter secara signifikan. Baik teladan itu ia dapat dari guru maupun teman satu sekolahnya. Kualitas dan tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan di sekolah mana ia menempuh jenjang pendidikan. Hal inilah yang mengharuskan untuk memberi perhatian khusus pada sekolah yang menjadi lingkungan utama anak belajar. Minimnya perhatian orang tua terhadap perkembangan anak semakin menambah dominasi sekolah terhadap perkembangan dan pembawaan anak. Agaknya, teori lama Ki Hajar Dewantara yang menomorduakan peranan sekolah dalam pengaruhnya terhadap perkembangan menyeluruh pada anak setelah faktor kelurga perlu ditinjau ulang. Apalagi orang tua  belakangan ini cenderung menyerahkan kepercayaannya dalam pendidikan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan. Secara selektif orang tua menunjuk satu lembaga pendidikan agar bisa lebih berkonsentrasi total terhadap pekerjaannya.
Fenomena inilah yang patut diwaspadai oleh seluruh kalangan khususnya para orangtua, pemerhati pendidikan dan tokoh masyarakat. Sudah sepatutnya sekolah mendapat perhatian lebih dalam segala aspeknya. Kapabilitas guru sebagai orang paling didengar dan diikuti pemikirannya serta teman sebagai tolok ukur pandangan. Terutama lagi adalah materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Para pemangku sekolah harus memberi perhatian lebih terkait hal-hal tersebut.
Terkait dengan materi pelajaran yang menjadi muatan kurikulum, beberapa aliran dalam Islam mulai bergerak menyisipkan ideologi eksklusifnya ke dalam kurikulum nasional melalui mata pelajaran berbasis agama. Beberapa doktrin “tidak benar” berhasil masuk menjadi bagian dari materi esensial mata pelajaran akidah akhlak edaran kementerian agama pusat 2009 lalu (Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kemenag). Artinya, doktrin tersebut merupakan bagian dari materi yang wajib dikuasai anak-anak didik yang menempuh jenjang pendidikan dalam sekolah. Karena sudah menjadi materi pelajaran, implikasinya adalah doktrin ini menjadi materi ujian yang akan dihapalkan dan tidak menutup kemungkinan akan “dianut” siswa karena dianggap sebagai kebenaran yang harus diyakini. Naik dari ranah kognitif yang hanya menitikberatkan pada penguasaan materi dalam otak ke taraf afektif (hati) dan menjadi kepercayaan.
Sejak berlakunya otonomi pendidikan pada tahun 2001 dengan dijalankannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan dan kesempatan untuk memberdayakan segala hal dalam penyelengaraan pendidikan, baik itu muatan kurikulum, proses pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar, guru dan sekolah, fasilitas dan sarana belajar. Meski begitu, pemerintah pusat tetap menetapkan standar isi dan kompetensi yang harus dijadikan acuan dalam pengembangan kurikulum. Inilah yang berpotensi memicu problem dalam tataran lebih lanjut. Standar isi yang ditetapkan diyakini tidak –akan mampu memenuhi kemauan beragam aliran Islam khususnya dalam aspek akidah karena masing-masing aliran secara spesifik memiliki karakteristik  yang tak bisa diintegrasikan untuk mencapai konsensus. Sebagai contoh, ahlussunnah tentu berbeda dengan wahhabi dalam pendekatan masalah tauhid. Mereka mengenal konsep tauhid dengan tiga macamnya, yaitu  uluhiyyah, rububiyyah dan asma’ wa shifat sedangkan ahlussunnah mengingkari konsep yang digagas ibnu taimiyyah ini. Jangan harap akan ada kompromi menyikapi perbedaan prinsip dalam masalah ini.
Pada mulanya, macam-macam tauhid khas wahhabi yakni tauhid uluhiyyah, rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat belumlah menjadi standar isi mata pelajaran pendidikan agama islam nasional. Hal ini terlihat dari kritik yang disampaikan oleh Prof. Dr. Muhaimin, MA pada acara workshop penilaian pendidikan agama islam pada sekolah di Bogor, 2007 silam. Seperti tertulis dalam artikelnya yang berjudul “Analisis Kritis Terhadap Permendiknas no. 23/2006 & no. 22/2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam di SD/MI, SMP/MTS & SMA/MA”, Muhaimin mengkritik rumusan Standar Kompetensi Lulusan aspek akidah yang tidak mengadopsi tauhid berkarakter wahhabi. Ia pun melayangkan kritik terhadap pendidikan agama Islam nasional secara umum seraya berusaha menyisipkan materi tauhid ala wahhabi ke dalam materi pendidikan agama. Guru Besar UIN Malang untuk Ilmu Pendidikan Agama dalam artikelnya ini menyebutkan perlunya menjadikan tiga macam tauhid itu sebagai bagian dari standar kompetensi lulusan dan kompetensi dasar aspek akidah untuk mata pelajaran akidah akhlak. Selain menyebutkan keunggulan model tauhid ala ibnu taimiyyah tersebut dalam artikelnya, beliau juga menuturkan kekurangan konsep tauhid madzhab al-asy’ari yang membagi sifat allah menjadi dua puluh, dan lain sebagainya.
Secara runtut dan ilmiah khas seorang akademisi, Muhaimin mengemukakan argumennya dan mengkritik model lama pelajaran akidah.  Dia berkeinginan untuk mengeliminasi konsep tauhid asy’ari seperti sifat wajib allah yang 20 lalu mengisinya dengan asma’ul husna. Alasan yang dipaparkan pun cukup menarik dan rasional. Dia beranggapan bahwa model lama sifat dua puluh dirasa kurang tepat dan mengena sesuai tujuan pelajaran akidah, yaitu lebih menyentuh dimensi hati dan memberi dampak kejiwaan pada kualitas iman seorang muslim. Asma’ul husna dipandang lebih mampu menyentuh perasaan seorang muslim dan memiliki efek yang lebih nyata dan praktis daripada sifat wajib yang dua puluh. Hanya rumusan rasionalistik.


              Prof. Muhaimin, Guru Besar UIN Malang dan Ilustrasi Buku Akidah Akhlak

Usaha gigih wahhabi itu pada akhirnya membuahkan hasil. Tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat berhasil masuk menjadi bagian modul pelajaran akidah akhlak standar nasional. Secara eksplisit, memang tidak disebutkan pembagian tauhid menjadi tiga macam ke dalam muatan pelajaran. Hanya saja, dengan cerdik materi itu mereka sisipkan bebarengan dengan sifat wajib allah yang dua puluh itu. Dengan praktek yang halus ini, tentu saja anak didik dikhawatirkan akan mengira bahwa ragam tauhid ini adalah satu paket wajib hapal bersama sifat wajib 20 yang sudah familiar dan biasa dilantunkan sebelum shalat.
Jika dilihat sekilas, penyisipan tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah ke dalam mata pelajaran pendidikan agama islam aspek akidah seakan tidak berbahaya dan berpengaruh signifikan. Apalagi menilik alasan yang dikemukakan Muhaimin seperti di atas. Terlihat logis dan lebih masuk akal. Padahal sebenarnya dari konsep tauhid macam inilah jurang lebar antara dua komunitas besar muslim berpotensi tercipta. Tidak main-main. Dengan bepijak pada mainstream tauhid macam ini, wahhabi bisa-bisa mengkafirkan mayoritas muslim Indonesia sebab praktek ibadah yang biasa mereka amalkan seperti membaca burdah, manaqib dan semisalnya.
Bila ditinjau dalam spektrum yang lebih luas, kekakuan wahhabi dalam berislam bisa dilihat dalam kehidupan beragama di Arab Saudi. Di Indonesia, dinamika perbedaan masih bisa ditolerir dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, namun tidak demikian halnya dengan di Arab Saudi. Implikasi dari konsep tauhid inilah yang menciptakan perbedaan karena menjadi legitimasi bagi beberapa sikap mereka yang kontroversial di mata umat Islam. Larangan mengadakan maulid dan beberapa kegiatan kebaikan seperti istighotsah bahkan sikap mengangkat kedua tangan ketika berdoa di Makam Rasulullah adalah beberapa dampak serius dari perbedaan dalam memahami konsep tauhid yang benar. Yang paling fatal, fanatisme pada konsep tauhid tiga macam ini akan berujung pada sikap saling mengkafirkan antar sesama muslim. Hal apa pula yang lebih besar dari tidak diakui sebagai sebagai muslim?
Implikasi konsep tauhid uluhiyyah rububiyyah dalam praktek keislaman di Indonesia berpotensi memicu friksi tajam antar umat islam. Apalagi ini berhubungan dengan dua komunitas muslim dengan kuantitas terbesar di Indonesia. Jika dipaksakan, peluang untuk ke sana akan semakin terbuka lebar.
Ahlussunnah yang merupakan mayoritas di Indonesia harusnya tanggap menyikapi hal ini. Jika tauhid model lama dianggap tidak akomodatif terhadap minat masa sekarang, bukankah itu hanya masalah pendekatan dan cara penyampaian saja yang tidak menarik? Jika diperbaharui dan dikemas lebih menarik sesuai selera penyampaian pendidikan kontemporer yang kreatif, bukan tidak mungkin anak Sekolah Dasar pun bisa menjangkau dan menikmati materi tauhid ahlussunnah semacam 20 Sifat Wajib Allah yang oleh Muhaimin dikatakan “kurang mengena”. Sepertinya itu hanya masalah penyajian saja yang kurang menarik dan kurang penjabaran makna. Tentu saja ini menjadi tugas umat muslim seluruhnya khususnya yang berkecimpung di dunia pendidikan Indonesia. Bila terus-menerus tidak mendapat perhatian, lubang yang “kecil” ini akan semakin meluas dan boleh jadi akan menggerus habis jejak Ahlussunnah pada Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Amiruddin Fahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar