Senin, 29 Oktober 2012

RSBI Hanya Ciptakan Kasta Pendidikan

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan jenis sekolah yang dianggap berada pada “kasta tertinggi” di Indonesia. Para pengelola RSBI mengklaim sekolahnya memang memiliki kualitas yang lebih baik dibanding non RSBI. Hal inilah yang membuat pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud menganakemaskan RSBI dengan memberikan tunjangan lebih besar dibanding sekolah lain.
Pro kontrapun akhirnya bermunculan ketika menanggapi kemunculan sekolah berlabel RSBI. Pemerintah dan para pengelola RSBI pastilah menghuni kubu pro RSBI. Di sisi lain, kubu kontra RSBI dihuni oleh para orang tua yang telah menjadi korban RSBI dan para aktivis LSM maupun ormas pendidikan tertentu.

Kubu kontra RSBI menilai bahwa sekolah jenis ini telah menyalahi amanat pendidikan nasional. Label RSBI justru hanya menjadi alat jual sekolah. Para pengelola sekolah menarik biaya yang sangat tinggi kepada peserta didik dengan dalih untuk keperluan fasilitas pembelajaran. Hal itu tentunya sangat memberatkan para orang tua yang berasal dari ekonomi bawah. Walaupun pemerintah telah mengatur keringanan biaya bagi 20% siswa miskin berprestasi di RSBI, tetapi kenyataanya tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh pengelola RSBI.

Selain itu, keberadaan RSBI juga telah menuai kritik dari para pakar. Di antaranya adalah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Era Orde Baru, Daoed Joesoef. Menurut Daoed, ada beberapa alasan dalam model pembelajaran RSBI yang tidak sesuai UUD 1945. Di antaranya, mengenai penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Penggunaan bahasa asing atau bahasa Inggris telah melanggar konstitusi UUD 1945 yang mengukuhkan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
Ahli bahasa sekaligus anggota perumus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dendy Sugono juga turut menolak kebijakan RSBI. Ia mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mengkaji ulang kebijakan itu..

Ia mengutarakan, jika ingin meningkatkan kemampuan siswa berbahasa Inggris, mereka sebaiknya melalui pengajaran bahasa Inggris reguler itu sendiri. “Penggunaan bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, sebagai bahasa pengantar dapat ditoleransi hanya untuk jenjang pendidikan tinggi. Khususnya pada prodi-prodi yang kosentrasinya pada kajian bahasa tersebut. Misalnya, pada prodi bahasa Arab tidak menjadi persoalan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar,” tambahnya. (Sumber : Kompas)
Tentang klaim kualitas yang tinggi di RSBI, tampaknya hal itu juga perlu dikaji ulang. Tidak sepenuhnya klaim tersebut benar, pasalnya sekolah RSBI biasanya hanya menerima masukan siswa yang berkualitas tinggi. Jadi, sebenarnya siswa RSBI terlihat berkualitas karena memang sudah sejak awal sebelum masuk sudah berkualitas.

Sikap pemerintah yang memberikan dana lebih besar untuk sekolah RSBI terkesan berlaku pilih kasih. Sekolah yang masih memiliki kekurangan fasilitas justru hanya mendapat sokongan dana sedikit. Jika pemerintah memang berniat meningkatkan kualitas pendidikan nasional, seharusnya sekolah terbelakang yang harus mendapat dana lebih besar, bukan sekolah RSBI yang memang sudah maju.

Melihat berbagai pro kontra yang terjadi di seputar RSBI, penulis berpendapat sebaiknya pemerintah harus jeli mempertimbangkan kembali keberadaan sekolah berlabel RSBI. Keberadaan sekolah ini justru telah membentangkan jurang yang amat dalam bagi siswa miskin untuk mengakses pendidikan murah dan berkualitas. Hak-hak pendidikan anak-anak bangsa seakan dibatasi dengan adanya RSBI.

Para orang tua justru merasa takut ketika mendaftarkan putra-putri mereka di RSBI. Akhirnya mereka hanya memasukkan putra putri mereka ke sekolah biasa yang kualitasnya juga biasa. Bagi mereka, bagaimanapun kualitas sekolahnya, yang penting murah. Alhasil, terciptalah sebuah kasta dalam sistem pendidikan, anak orang kaya dan pejabat bersekolah di RSBI, anak rakyat miskin bersekolah di sekolah reguler. Walaupun pemerintah menolak anggapan adanya kastanisasi pendidikan, tetapi kenyataannya memang tak bisa dipungkiri lagi.

Akhirnya, perlukah RSBI dihapuskan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar