Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan jenis
sekolah yang dianggap berada pada “kasta tertinggi” di Indonesia. Para
pengelola RSBI mengklaim sekolahnya memang memiliki kualitas yang lebih
baik dibanding non RSBI. Hal inilah yang membuat pemerintah, dalam hal
ini Kemendikbud menganakemaskan RSBI dengan memberikan tunjangan lebih
besar dibanding sekolah lain.
Pro kontrapun akhirnya bermunculan ketika menanggapi kemunculan
sekolah berlabel RSBI. Pemerintah dan para pengelola RSBI pastilah
menghuni kubu pro RSBI. Di sisi lain, kubu kontra RSBI dihuni oleh para
orang tua yang telah menjadi korban RSBI dan para aktivis LSM maupun
ormas pendidikan tertentu.
Kubu kontra RSBI menilai bahwa sekolah jenis ini telah menyalahi
amanat pendidikan nasional. Label RSBI justru hanya menjadi alat jual
sekolah. Para pengelola sekolah menarik biaya yang sangat tinggi kepada
peserta didik dengan dalih untuk keperluan fasilitas pembelajaran. Hal
itu tentunya sangat memberatkan para orang tua yang berasal dari ekonomi
bawah. Walaupun pemerintah telah mengatur keringanan biaya bagi 20%
siswa miskin berprestasi di RSBI, tetapi kenyataanya tidak sepenuhnya
dilaksanakan oleh pengelola RSBI.
Selain itu, keberadaan RSBI juga telah menuai kritik dari para pakar.
Di antaranya adalah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Era Orde
Baru, Daoed Joesoef. Menurut Daoed, ada beberapa alasan dalam model
pembelajaran RSBI yang tidak sesuai UUD 1945. Di antaranya, mengenai
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar
mengajar. Penggunaan bahasa asing atau bahasa Inggris telah melanggar
konstitusi UUD 1945 yang mengukuhkan bahwa bahasa negara adalah bahasa
Indonesia.
Ahli bahasa sekaligus anggota perumus Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Dendy Sugono juga turut menolak kebijakan RSBI. Ia mengatakan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mengkaji ulang
kebijakan itu..
Ia mengutarakan, jika ingin meningkatkan kemampuan siswa berbahasa
Inggris, mereka sebaiknya melalui pengajaran bahasa Inggris reguler itu
sendiri. “Penggunaan bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, sebagai
bahasa pengantar dapat ditoleransi hanya untuk jenjang pendidikan
tinggi. Khususnya pada prodi-prodi yang kosentrasinya pada kajian bahasa
tersebut. Misalnya, pada prodi bahasa Arab tidak menjadi persoalan
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar,” tambahnya. (Sumber :
Kompas)
Tentang klaim kualitas yang tinggi di RSBI, tampaknya hal itu juga
perlu dikaji ulang. Tidak sepenuhnya klaim tersebut benar, pasalnya
sekolah RSBI biasanya hanya menerima masukan siswa yang berkualitas
tinggi. Jadi, sebenarnya siswa RSBI terlihat berkualitas karena memang
sudah sejak awal sebelum masuk sudah berkualitas.
Sikap pemerintah yang memberikan dana lebih besar untuk sekolah RSBI
terkesan berlaku pilih kasih. Sekolah yang masih memiliki kekurangan
fasilitas justru hanya mendapat sokongan dana sedikit. Jika pemerintah
memang berniat meningkatkan kualitas pendidikan nasional, seharusnya
sekolah terbelakang yang harus mendapat dana lebih besar, bukan sekolah
RSBI yang memang sudah maju.
Melihat berbagai pro kontra yang terjadi di seputar RSBI, penulis
berpendapat sebaiknya pemerintah harus jeli mempertimbangkan kembali
keberadaan sekolah berlabel RSBI. Keberadaan sekolah ini justru telah
membentangkan jurang yang amat dalam bagi siswa miskin untuk mengakses
pendidikan murah dan berkualitas. Hak-hak pendidikan anak-anak bangsa
seakan dibatasi dengan adanya RSBI.
Para orang tua justru merasa takut ketika mendaftarkan putra-putri
mereka di RSBI. Akhirnya mereka hanya memasukkan putra putri mereka ke
sekolah biasa yang kualitasnya juga biasa. Bagi mereka, bagaimanapun
kualitas sekolahnya, yang penting murah. Alhasil, terciptalah sebuah
kasta dalam sistem pendidikan, anak orang kaya dan pejabat bersekolah di
RSBI, anak rakyat miskin bersekolah di sekolah reguler. Walaupun
pemerintah menolak anggapan adanya kastanisasi pendidikan, tetapi
kenyataannya memang tak bisa dipungkiri lagi.
Akhirnya, perlukah RSBI dihapuskan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar